Peradaban Islam Di Masa Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah
PERADABAN ISLAM DI MASA PEMERINTAHAN DINASTI FATHIMIYYAH
Oleh: Hadi Purwanto
A. Pendahuluan
Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, menyerupai dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan pribadi oleh Rasulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Dinasti Fathimiyah yaitu merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga mempunyai andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban Islam. Dinasti ini tumbuh dari loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib yang selanjutnya menjadi info terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya.
Pada kala ke- VII dan ke- VIII M, info tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umaiyah dan Khilafah Abbasiyah. Meski Khilafah Abbasiyah bisa berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlansung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya yaitu Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah anutan sekte di Syi’ah yang lahir akhir perselisihan wacana pengganti imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah.
B. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatthimiyyah
Dinasti Fathimiyyah didirikan pada tahun 909 M di Tunisia sebagai tandingan bagi penguasa muslim ketika itu yaitu bani Abbasiyyah yang berkuasa di Bagdad. Dinasti Fathimiyyah didirikan oleh Sa’id Ibnu Husain keturunan dari pendiri Syi’ah Ismailiyyah. Dinasti ini merupakan Dinasti satu-satunya dalam Islam yang menganut paham Syi’ah.
Dinasti Fathimiyyah berdiri sehabis mengalahkan Dinasti Aglabiyah di Sijilmasa. Kejayaan Dinasti Fathimiyyah diperoleh sehabis sentra kekuasaannya di pindah dari Al-Mahdiyah (di Tunisia) ke Mesir. Dinasti ini lahir di antara dua politik kekhalifahan besar yaitu Abbasiyyah di Bagdad dan Umayyah II di Cordova.
Dinasti fathimiyyah lahir sebagai perwujudan dari idealisme orang-orang Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan penguasa tertinggi (imamah) yaitu keturunan Fatimah putri Rasulullah SAW.
Sebenarnya golongan Syi’ah sudah usang mencita-citakan kekhalifahan mereka sendiri semenjak pudarnya kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib di Kuffah. Namun mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik semasa priode kekhalifahan Umayyah hingga Abbasiyyah. Sehingga mereka tidak berani menampakkan acara politik baik terhadap pemerintahan Umayyah maupun Abbasiyah. Dalam acara politiknya mereka melaksanakan gerakan taqiyah yang kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi bahwasanya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam.
C. Masa Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah
Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah berlangsung sekitar 262 tahun terhitung dari tahun 909 M hingga berakhir pada tahun 1171 M. Pada masa Dinasti Fathimiyyah dipimpin oleh 14 khalifah. Wilayah kekuasaan Fathimiyah mencakup Afrika Utara, Sicilia, dan Syria. Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani Umayyah di Spanyol, dan Dinasti Aghlabiyah di Maroko. Dengan demikian, wilayah ini sangat luas, dari Yaman hingga bahari Atlantik, Asia Kecil dan Mosul. Untuk mengetahui upaya-upaya yang ditempuh para khalifah dalam memperluas wilayah politik dan pemerintahanya.
Al-Mahdi (909-934 M.) memperluas wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M. ia menguasai Alexandria, kemudian juga kota-kota lainnva menyerupai Malta, Syria, Sardina, Corsica, dll. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah. Karenanya, ia berhubungan dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai hingga ia meninggal pada 934 M.
Al-Qaim (934-949 M), putra AI-Mahdi, mengadakan ekspansi ke selatan Pantai Perancis pada 934 M. Di sana ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Saat itu pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir oleh Dinasti Ikhsidiyah dari Alexandaria. Ia sanggup menghalau banyak sekali serangan dari `pemberontak Khawarij yang dipimpin Abu Yazid, meskipun pada 946 M. meninggal dunia bertepatan dengan terjadinya pemberontakan Abu Yazid di Susa’. Anaknya, Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota Al-Mansuriyah yang megah di wilayah perbatasan Susa’. Ia bisa mempertahankan prestasi ayahnya dalam mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah, meskipun banyak sekali serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
Mu’iz (965-975 M.), putra Al-Mansur, yaitu khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia berhasil membawa rakyat tenang dan makmur, di samping daerahnya yang semakin sanggup diperluas. Setelah melaksanakan konsolidasi ke dalam, hingga mendapat ratifikasi sukses dari rakyat, ia gres melaksanakan ekspansi wilayah. Tidak usang ia sanggup menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah Susa’. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M. yang semula dikuasai oleh Islam semenjak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil nengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi politik muiz yang paling besar yaitu penaklukkan Mesir. Penaklukkan kota Fusthat tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima Jauhar al-Shaqili. Jauhar segera membangun kota ini menjadi kota gres dengan nama Qahirah (Kairo). Sejak 973 kota ini dijadikan ibukota Fathimiyah. Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang.
Al-Aziz (975-996 M.), putra Mu’iz, yaitu khalifah yang paling bijaksana dan pemurah, sehingga bisa membawa rakyat lebih makmur. la menekankan adanya perdamaian antara pengikut agama, baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya beragama Kristen, yaitu Isa bin Nastur. Ia berhasil membawa Fathimiyah pada puncak kemajuan yang mengungguli Bani Abbas di Baghdad ketika itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo menyerupai The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan Masjid Karafa, serta Masjid Akademik Al-Azhar diresmikan. Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.
Al-Hakim (996-1021 M.), putra Al-Aziz, diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas tahun. Oleh karenanya, pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur Barjawan. Akhirnya, pemerintahan tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak sanggup dihindarkan konflik dengan umat Nasrani dan Yahudi yang merasa hak-haknya dipersempit. Ia menuntaskan pembangunan Dar Al-Hikmah, sebagai sentra ilmu pengetahuan dan pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah.
Al-Zahir (1021-1036 M.), putra Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam belas tahun, sehingga pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah sang bibi meninggal, ia dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena petaka banjir, rakyat menderita kekurangan pangan, sedang harga barang tidak lagi terjangkau. Ia pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari Mesir lantaran persengketaan keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, intinya Al-Zahir mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.
Al-Mustanshir (1036-1095 M.), putra Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa pemerintahannya yang pertama sepenuhnya di tangan ibunya, lantaran sewaktu dinobatkan ia masih berumur tujuh tahun. Pada masanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran yang drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya, Al-Musta’li, Al-Amir, Al-Hafiz, Al-Zafl, Al-Fa’iz dan Al-Adid, tidak bisa lagi membawa pemerintahannya untuk kembali menyerupai semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih berusia sangat muda, sehingga pemerintahan disetir oleh pihak lain. Khalifah terakhir Al-Azid berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Maka, berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
D. Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fathimiyyah terhadap Peradaban Islam
Dinasti Fathimiyyah mempunyai andil yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban Islam. Kemajuan dan Kontribusi yang diperoleh dari Dinasti Fathimiyyah tidak hanya dalam bidang pemerintahan namun juga dalam bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan. Diantara kemajuan dan bantuan tersebut sebagai berikut:
1. Bidang Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada Dinasti Fathimiyyah merupakan suatu bentuk pemerintahan dengan contoh gres dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya khalifah yaitu kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
Menteri-menteri (wazir) dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok militer dan kelompok sipil. Kelommpok militer membidangi urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Sedangkan yang termasuk sipil diantaranya:
a. Qadi yang berfungsi sebagai hakim dan administrator percetakan uang
b. Ketua dakwah yang memimpin darul hikam (bidang keilmuan)
c. Inspektur pasar yang membidangi bazaar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran.
d. Bendaharawan Negara yang membidangai baitul mal
e. Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
f. Qari yang membacakan Al-Qur’an bagi khalifah.
Selain pejabat istana khalifah juga mengangkat beberapa pejabat local yang mengelola di daerah.
2. Bidang Ekonomi dan Sosial
Di bawah naungan Dinasti Fathimiyyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan dunia non-Islam dibina dengan baik, menyerupai India dan Negara-negara Mediterania yang beragama Kristen. Disamping itu Mesir ketika itu bisa menghasilkan produk industry dan seni Islam terbaik. Pada masa itu juga Mesir merupakan daerah yang sangat maju lantaran ibu kota Dinasti Fathimiyyah Kairo menjadi sentra transit ekonomi dunia yang menghubungkan Sub-Sahara, Eropa dan Asia.
Pada masa itu terdapat pasar yang mempunyai 20.000 toko yang luar biasa besarnya dan dipenuhi banyak sekali produk dari seluruh dunia. Keadaan ini memperlihatkan sisi kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fathimiyyah.
Sedangkan dalam bidang sosial Khalifah sangat bahagia memberi dan memerhatikan warga mereka walaupun non-Muslim. Di bawah pemerintahan Dinasti Fathimiyyah orang-orang Nasrani diperlakukan dengan baik.
Walaupun Dinasti fathimiyyah bersungguh-sungguh di dalam men-syi’ahkan orang Mesir, tetapi mereka tidak memaksa orang-orang Suni untuk mengikuti alirah Syi’ahnya. Sehingga banyak da’i-da’I Sunny yang berguru di Al-Azhar. Kebijakan pemerintahan tersebut yang berimbas terhadap kemakmuran dan kehidupan social yang kondusif dan tentram.
3. Bidang Ilmu Pengetahuan
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang paling mendasar pada masa dinasti Fathimiyyah yaitu keberhasilan membangun sebuah forum keilmuan yang disebut darul hikam atau darul ‘ilmi yang dibangun oleh Al-Hakim pada tahun 1005 M. bangunan ini dibangun khusus untuk propaganda keyakinan kesyi’ahan. Pada masa itu Al-Hakim mengeluarkan dana sebanyak 257 dinar untuk meniru manuskrip dan perbaikan buku-buku. Kurikulum keilmuan pada masa itu lebih banyak ke dilema keislaman, astronomi dan kedokteran. Sedangkan pada masa Al-Mustansir terdapat perpustakaan yang di dalamnya terdapat 200.000 buku dan 2.400 illuminated Al-Qur’an.
Adapun kemajuan dalam bidang pendidikan yang sanggup diraskan hingga ketika ini yaitu Universitas Al-Azhar yang pada awal sebuah masjid yang didirikan oleh Al-Muiz. Masjid Al-Azhar selain sebagai tempat ibadah juga dipakai sebagai sentra ilmu pengetahuan, tempat berdiskusi bahasa dan juga mendengarkan kisah dari orang yang hebat bercerita. Pada pemerintahan Al-Aziz mengubah fungsi masjid Al-azhar menjadi sebuah Universitas.
Pada walnya universitas Al-azhar dimaksudkan untuk menyebarluaskan keyakinan syi’ah, namun selanjutnya oleh Shalahuddin Al-Ayubi diubah menjadi sentra pendidikan Sunni samapai sekarang.
E. Pemikiran pada Masa Dinasti Fathimiyyah
Dalam berbagi wacana kesyi’ahannya Dinasti Fatimiyah banyak memakai filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok hebat filsafat yang paling populer pada Dinasti Fatimiyah yaitu ikhwanu shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cendrung membela kelompok Syi’ah Islamiyah, dan kelompok inilah yang menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsuf yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah:
1. Abu Hatim Ar-Rozi, beliau yaitu seorang da’i Ismaliyat yang pemikirannya lebih banyak dalam dilema politik, Abu Hatim menulis beberapa buku beliau ntaranya kitab Azzayinah yang terdiri dari 1200 halaman. Di dalamnya banyak membahas dilema Fiqh, filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
2. Abu Abdillah An-Nasafi, beliau yaitu seorang penulis kitab Almashul. Kitab ini lebih banyak membahas dilema al-Ushul al-Mazhab al-Ismaily. Selanjutnya ia menulis kitab Unwanuddin Ushulus syar’i, Adda’watu Manjiyyah. Kemudian ia menulis buku wacana falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-Kaunul Mujrof .
3. Abu Ya’qup as Sajazi, ia merupakan salah seorang penulis yang paling banyak tulisannya. Diantaranya Asasu Da’wah, Asyaro’I Kasyf Al-Asror, Itsbah Al-Nubuwah, Al-Yanabi, Al-Mawazin dan kitab Al-nasyroh.
4. Abu Hanifah An-Nu’man Al-Magribi penulis kitab Da’aim Al-Islam Al-Yanabu, Mukhtasor Al-Atsar, Mukhtasor Al-Idoh, Kaifayatu Sholah, Manhij Al-Faroid, Al-Risalah Al-Misriyyah.
5. Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani penulis kitab A’wilu Zakah, Al-Fitrotu wa Al-Qironati.
6. Hamiduddin Al-Kirmani penulis kitab Uyun Al-Akhbar, Al-Mushobihu fi Itsbati Imamah.
F. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fathimiyyah
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Fathimiyyah dimulai dari masa pemerintahan Khalifah Al-Hakim putera dari Khalifah Al-Aziz. Ada beberapa factor yang mengakibatkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Fathimiyyah, antara lain:
1. Faktor Internal
a). Khalifah Berusia Muda
Ada beberapa Khalifah yang berusia sangat muda ketika naik tahta diantaranya Khalifah Al-Hakim berusia sebelas tahun. Penerus Al-hakim anaknya Al-Zhahir berusia enam belas tahun. Khalifah Al-Muntashir berusia sebelas tahun. Sedangkan Khalifah Al-Amir naik tahta pada usia lima tahun. Khalifah Al Dhafir memimpin Dinasti fathimiyah pada usia tujuh belas tahun dan sehabis wafat digantikan anaknya Al-Faiz yang masih bayi. Dan khalifah Al-Adid memerintah pada usia Sembilan tahun.
Kerena khalifah yang sangat muda inilah balasannya pemerintahan berada di tangan ibunya dan para wazir. Namun lantaran para wazir yang berasal dari banyak sekali golongan terjadilah perpecahan bertahap yang menjadikan kehancuran Dinasti Fathimiyyah.
b). Perpecahan diantara Keluarga Khalifah
Terdapat beberapa perpecahan di dalam keluarga Khalifah fathimiyyah diantaranya yaitu terbunuhnya Khalifah Al-Hakim di Mukatam dalam konspirasi yang dipimpin oleh adik perempuannya Sitt Al-Muluk yang telah diperlakukan tidak hormat oleh Khalifah.
Sedangkan ketika Khalifah Al-Musta’li naik tahta kakaknya Nizar melarikan dari dan mengumandangkan sebagai khalifah. Sehingga balasannya pasukan Al-Musta’li menangkap dan memenjarakannya hingga meninggal.
Dari perpecahan antara keluarga khalifah maka terjadi perpecahan diantara pendukunya dan menjdaikan kurangnya loyalitas rakyat terhadap pemerintahan.
c). Persaingan antar Wazir
Faktor internal lainnya sebagai penyebab kehancuran daulah Fatimiyah yaitu persaingan dalam memperoleh jabatan dikalangan wajir. Pada masa al-Adid sebagai khalifah terakhir. Persaingan antara Abu Sujak Syawar dan Dargam untuk merebutkan jabatan wajir yang balasannya dimenangkan Dargam. Karena sakit hati, Syawar meminta pemberian Nur Al-Din al-Zanki untuk memulihkan kekuasannya di Mesir, jikalau berhasil ia berjanji untuk menyerahkan sepertiga hasil penerimaan negara kepadanya.
Tawaran ini diterima Nur al-Din, kemudian ia mengutus pasukan dibawah pimpinan Syirkuh dan keponakannya Salah al-Din al-Ayyubi. Pasukan ini bisa mengalahkan Dargam sehingga Syawar kembali memangku jabatan wazir dan memenuhi janjinya kepada Nur al-Din.
2. Faktor Eksternal
Adapun faktor eksternal yang menjadi penyebab runtuhnya Dinasti Fatimiyah yaitu menguatnya kekuasaan Nur al-Din al-Zanki di Mesir. Nur al-Zanki yaitu Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Popularitas al-Zanki menonjol pada ketika ia bisa mengalahkan pasukan salib atas permohonan khalifah al-Zafir yang tidak bisa mengalahkan tentara salib.
Dikarenakan rasa cemburunya kepada Syirkuh yang mempunyai efek berpengaruh di istana dianggap sebagai tentangan yang akan merebut kekuasaannya sebagai wazir, syawar melaksanakan perlawanan. Agar bisa menguat kekuasannya, Syawar meminta pemberian tentara Salabiyah dan memperlihatkan kesepakatan menyerupai yang dilakukannya terhadap Nural-Din.
Tawaran ini diterima King Almeric selaku panglima perang salib dan melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk sanggup menaklukkan Mesir. Pertempuran pun pecah di Pelusium dan pasukan Syirkuh sanggup mengalahkan pasukan salib.Syawar sendiri sanggup ditangkap dan dieksekusi bunuh dengan memenggal kepalanya atas perintah khalifah Fatimiyah. Dengan kemenangan ini, maka Syirkuh dinobatkan menjadi wazir.
Setelah Syirkuh wafat, jabatan wazir diserahkan kepada Salah al-Din Ayyubi. Selanjutnya Salah al-Din mengambil kekuasaan sebagai khalifah sehabis al-Adid wafat. Dengan berkuasanya Salah al-Din, maka diumumkan bahwa kekuasaan daulah Fatimiyah berakhir. Dan membentuk dinasti Ayyubiyah serta merubah orientasinya dari paham syi’ah ke sunni.
G. Penutup
Dari uraian makalah di atas, maka sanggup diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Dinasti Fathimiyyah didirikan pada tahun 909 M di Tunisia sebagai tandingan bagi penguasa muslim ketika itu yaitu bani Abbasiyyah yang berkuasa di Bagdad. Dinasti Fathimiyyah didirikan oleh Sa’id Ibnu Husain keturunan dari pendiri Syi’ah Ismailiyyah. Dinasti ini merupakan Dinasti satu-satunya dalam Islam yang menganut paham Syi’ah
2. Pemerintahan Dinasti fathimiyyah berlangsung sekitar 262 tahun terhitung dari tahun 909 M hingga berakhir pada tahun 1171 M. Pada masa Dinasti fathimiyyah dimpimpin oleh 14 khalifah. Wilayah kekuasaan Fathimiyah mencakup Afrika Utara, Sicilia, dan Syria.
3. Dinasti Fathimiyyah mempunyai andil yang sangat besar terhadap kemajuan peradaban Islam. Kemajuan dan Kontribusi yang diperoleh dari Dinasti Fathimiyyah tidak hanya dalam bidang pemerintahan namun juga dalam bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan.
4. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fathimiyyah diakibatkan factor internal yaitu: Khalifah berusia sangat muda, perpecahan diantara keluarga khalifah dan persaingan antar wazir. Sedangkan factor internal adalah karena Nur al-Din al-Zanki Gubernur Syiria yang masih berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah bisa menguasai Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Isy, Yusuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khalifah Al-‘Abbasiyyah, diterjemahkan oleh Arif Munandar dengan judul Dinasti Abbasiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Fa’al, Fahsin M., Sejarah Kekuasaan Islam, Jakarta: Artha Rivera, 2008.
Hitti, Philip K., History of The Arabs; From the Earliest Times to the Present, diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi dengan judul History of The Arabs, Jakarta, Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2011.
Nata, Abuddin (ed), Sejarah Pendidikan Islam pada Priode Klasik dan Modern, Jakarta: rajawali Pers, 2010.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Kelasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Bogor, Kencana, 2003.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam; melacak Akar-akar sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2008.
Belum ada Komentar untuk "Peradaban Islam Di Masa Pemerintahan Dinasti Fathimiyyah"
Posting Komentar